Sabelianisme

Di ranah teologi Kristen, Sabelianisme adalah keyakinan bahwa hanya ada satu Oknum (hipostasis, istilah Yunani yang dipakai dalam kontroversi ajaran Arius pada abad ke-4) di dalam Ke-Allah-an. Sebagai contoh, teolog Richard Patrick Crosland Hanson mendefinisikan Sabelianisme sebagai "keingkaran untuk mengamini kewujudan tedas Oknum-Oknum."[1]:844 Ia mengemukakan pula bahwa "Eustatius dikutuk lantaran dianggap menganut Sabelianisme; keteguhannya dalam berpendirian bahwa hanya ada satu kenyataan tedas (hipostasis) di dalam Ke-Allah-an, dan kerancuannya dalam membedakan Bapa, Putra, dan Roh Kudus, menjadikannya rentan dituding seperti itu."[1]:216 Lantaran dibidatkan, Sabelianisme ditolak oleh umat Kristen pada umumnya.

Monarkianisme

Sabelianisme pertama kali muncul pada abad ke-2 dalam wujud Monarkianisme. Meskipun para “pengusung ajaran ini menyebut dirinya kaum 'Monarkian', bapa-bapa Yunani menyebut mereka 'kaum Sabelian', sebab Sabeliuslah orang pertama yang mengemukakan ajaran ini dalam bentuk filsafatinya.”

Monarkianisme bertentangan dengan teologi-Logos. Lantaran sejak akhir abad ke-2, Kekristenan non-Yahudi didominasi oleh teologi-Logos yang mengajarkan dua-tahap kewujudan Logos, yaitu Logos senantiasa wujud di dalam diri Allah tetapi menjadi suatu wujud terpisah - suatu Kenyataan tedas - tatka Allah memutuskan untuk mencipta, kaum Monarkian pun menyatakan “bahwa teologi para Apolog menyiratkan adanya keterbelahan dalam kewujudan dan kemahaesaan Allah sehingga tidak dapat dibenarkan”, dan bahwa teologi-Logos mengajarkan kewujudan dua khalik dan dua Allah (biteisme) sehingga “tidak sejalan dengan monoteisme”.

Menurut Monarkianisme, “Bapa dan Putra adalah pengungkapan yang berlainan dari satu kewujudan yang sama, tanpa pembedaan pribadi di antara keduanya. Dengan kata lain, Bapa jualah Putra itu, dan oleh karena itu mengalami kelemahan-kelemahan insani Putra.” “Jika mengutip kata-kata Noetos, … Bapa … sendiri menjadi Putra-Nya.” “Itulah sebabnya Allah terlahir dari rahim seorang perawan dan mendaku diri kepada umat manusia sebagai Putra Allah. Di atas kayu salib, Allah menyerahkan roh-Nya kepada diri-Nya sendiri, tatkala Ia berlaku seakan-akan mati, tetapi sesungguhnya Ia tidak mati, kendati Ia bangkitkan diri-Nya sendiri pada hari yang ketiga.”

Tertulianus adalah salah seorang teolog Logos yang menentang keras Monarkianisme. “Risalah Melawan Prakseas diakui di mana-mana karya sastra terbesar mengenai Tritunggal yang dihasilkan Tertulianus. Pandangan yang diduga diajarkan oleh Prakseas pada akhirnya disebut ‘modalisme’, mengikuti istilah yang digunakan oleh Adolf von Harnack di dalam bukunya, History of Dogma (terbit tahun 1897). Tertulianus hanya menyebut lawannya itu sebagai seorang ‘monarkian’.”

“Adolph Von Harnack memunculkan istilah 'Modalisme' sebagai sebutan bagi ajaran abad ke-2 ini, yakni ajaran yang mengatakan bahwa Tritunggal terdiri atas 'tiga moda atau tiga aspek dari satu kewujudan ilahi'.”

Mengikuti langkah Tertulianus, “bapa-bapa Latin … menyebut mereka 'kaum patripasian' lantaran mereka sudah menyama-nyamakan Bapa dan Putra sedemikian rupa sampai-sampai mengimani bahwa Bapalah yang menderita sengsara dan wafat di atas kayu salib.”

Sabelius

"Sabelianisme" terambil dari nama Sabelius (berkiprah sekitar tahun 215), orang yang mengajarkan salah satu ragam Monarkianisme di Roma pada abad ke-3. Tidak satu pun karya tulisnya yang sintas, dan semua keterangan mengenai dirinya berasal dari berbagai karya tulis lawan-lawannya, yang bukanlah sumber terandal.

Monarkianisme didapatkan Sabelius dari ajaran-ajaran Noetos dan Prakseas.[2] Noetos diekskomunikasi dari Gereja sesudah diuji di hadapan sidang rohaniwan,[3] sementara Prakseas kabarnya sudah mengakui kekeliruan pandangan-pandangan modalistisnya secara tertulis, dan kembali mengajarkan akidah yang semula dianutnya.[4] Nasib yang sama menimpa Sabelius. Ia diekskomunikasi oleh sidang rohaniwan di Aleksandria, dan lantaran naik banding ke Roma, diselenggarakaanlah sidang kedua di Roma yang juga membidatkan ajarannya.[5][6]

"Sabelius mengimani kemahaesaan sederhana dari oknum dan hakikat Allah."[7] Meskipun demikian, ragam Sabelianisme yang diajarkan Sabelius tidak sama dengan Monarkianisme. Ia tidak percaya bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus hanya sekadar tiga nama bagi satu Kenyataan. Von Mosheim, teolog Lutheran Jerman pencetus aliran pragmatis di kalangan ahli sejarah Gereja,[8] berpandangan bahwa dari satu segi Sabelius memang menyifatkan Allah itu tiga, tetapi dari segi lain menyifatkan-Nya satu. Ia "mengimani perbedaan Bapa, Putra, dan Roh Kudus, seperti yang dijabarkan di dalam Kitab Suci, sebagai suatu perbedaan yang nyata, bukan sekadar perbedaan penyebutan atau perbedaan nama belaka."[9] Ia berpendirian bahwa, sama seperti manusia itu satu oknum, tetapi memiliki raga, jiwa, dan roh, demikian pula Allah itu satu Oknum, tetapi di dalam Oknum yang satu itu, Bapa,Putra, dan Roh Kudus dapat dibedakan satu sama lain.

Hipolitus dari Roma, yang kenal dengan Sabelius secara pribadi, menulis di dalam risalahnya, Pemungkiran Segala Bidat, bahwa ia maupun pihak-pihak lain sudah berusaha menasihati Sabelius. Ia tahu bahwa Sabelius menentang teologi Tritunggal, tetapi ia menyifatkan Monarkianisme Modalis sebagai bidat yang diajarkan Noetos, bukan sebagai bidat yang diajarkan Sabelius.

Yesus Kristus

Menurut Monarkianisme (Modalistis), Yesus Kristus adalah Allah. Menurut Monarkianisme Dinamis, Yesus Kristus hanyalah manusia.

Homoousios

Diriwayatkan bahwa Sabelius memakai istilah Yunani homoousian (ὁμοούσιος, artinya 'sehakikat'), yang juga dipakai di dalam Syahadat Nikea. Istilah tersebut menyifatkan hubungan Bapa dengan Putra. Banyak pihak yang sehaluan dengan Atanasius berkeberatan menggunakan istilah tersebut lantaran menganggapnya tidak Alkitabiah, mencurigakan, dan "cenderung kesabelius-sabeliusan."[10] Bagi Sabelius, istilah ini berarti Bapa dan Putra pada hakikatnya adalah satu oknum, yang berkarya selaku perwujudan-perwujudan atau moda-moda yang berlainan.

Pandangan bersaingan

Simonetti memandang Arianisme "sebagai reaksi ekstrem terhadap Sabelianisme yang sedang marak di Timur pada masa itu.”[1]:95 Arianisme mengajarkan kewujudan tiga hipostasis. Pandangan Tritunggal juga mengajarkan kewujudan tiga oknum yang berlainan di dalam Ke-Allah-an.[11] Bedanya adalah, Arianisme mengajarkan kewujudan tiga hakikat yang berlainan, sementara doktrin Tritunggal mengajarkan kewujudan tiga Oknum yang berlainan di dalam satu hakikat.

Tokoh Sabelian abad ke-4

Tiga orang tokoh utama kaum Sabelian pada abad ke-4 adalah Eustatius dari Antiokhia, Marselus dari Angkira, dan Fotinus dari Sirmium. Eustatius dan Marselus dicopot dari jabatannya lantaran berpaham Sabelianisme:

  • “Kemungkinan besar Eustatius dicopot dari jabatannya pertama-tama lantaran menganut bidat Sabelianisme.”[1]:211
  • Marselus dicopot dari jabatannya karena condong ke arah Sabelianisme.”[1]:228 Bagi Eusebius, "doktrin Marselus nyata-nyata adalah Sabelianisme, yakni kegagalan untuk membedakan Bapa dan Putra.”[1]:224
  • “Paulinus adalah salah seirang lawan dari Meletius, sabahat sekaligus sekutu Basilius. … Basilius curiga jangan-jangan Paulinus diam-diam di lubuk hatinya berpaham Sabelianisme, percaya akan kewujudan satu Oknum (hipostasi) saja di dalam Ke-Allah-an. Kedekatan Paulinus dengan sisa-sisa pengikut Marselus, dan kesukaannya yang berterusan terhadap ungkapan 'satu hipostasi' … membuat dirinya dicurigai seperti itu.”[1]:801

Basilius dari Kaisarea

Basilius dari Kaisarea berhujah membela homoousios lantaran istilah itu "juga membetulkan kekeliruan Sabelius, karena istilah itu memperkecualikan jati diri Oknum (hipostasis) … sebab tiada sesuatu pun yang sehakikat dengan dirinya sendiri." (RH, 694-695)

Sejarah dan perkembangan

Sabelianisme diterima dan dianut umat Kristen di Kirenaika, yakni umat Kristen yang dikirimi surat oleh Dionisius, Batrik Aleksandria (yang besar andilnya dalam pengambilan keputusan sidang rohaniwan Aleksandria untuk mengekskomunikasi Sabelius), berisi perjelasan yang mendustakan ajaran tersebut. Hipolitus meriwayatkan di dalam risalahnya sebagai berikut:

Beberapa orang lain diam-diam menyiarkan ajaran lain, yakni orang-orang yang sudah menjadi murid si Noetus, orang kelahiran Smirna, yang tidak terlampau jauh masa hidupnya. ... Orang ini menyiarkan suatu bidat dari pokok-pokok pikiran Heraklitus. Lantas seseorang bernama Epigonus menghamba dan berguru kepadanya, dan ketika singgah di Roma, orang ini menyebarluaskan fatwanya yang fasik. Namun Kleomenes, yang sudah berguru kepadanya, orang tidak tahu apa-apa soal adab hidup dan adat-istiadat Gereja, dialah yang tekun menyiarkan ajaran (Noetus) itu.[12]

Demikian pula Noetus, orang Smirna menurut tempat lahirnya ... menyiarkan (di tengah-tengah kita) bidat yang bersumber dari si Epigonus ini. Bidat ini sampai ke Roma, lalu dianut Kleomenes sehingga terus bercokol sampai sekarang di kalangan para penerusnya.[13]

Tertulianus juga memandang modalisme sebagai gagasan baru dari luar yang menyusup masuk ke dalam Gereja, dan bertentangan dengan ajaran yang diterima melalui suksesi. Sesudah memaparkan pemahamannya tentang iman seperti apa yang sudah diterima Gereja, ia selanjutnya menjelaskan betapa "orang lugu", yang senantiasa menjadi golongan mayoritas di antara umat beriman itu, sering kali dibuat terperangah oleh gagasan bahwa Allah Yang Mahaesa itu ada wujud dalam tiga dan menentang pemahamannya akan "kaidah iman." Para pendukung Tertulianus menegaskan bahwa yang disifatkan Tertulianus sebagai golongan mayoritas di antara umat beriman adalah "orang lugu", bukan para penentangnya. Penegasan ini dikukuhkan oleh argumen Tertulianus bahwa mereka mengemukakan gagasan-gagasan mereka sendiri, yang tidak pernah diajarkan kepada mereka oleh para tetua mereka:

Akan tetapi kami, sebagaimana yang sudah senantiasa kami perbuat (wabilkhusus lantaran kami sudah dididik baik-baik oleh Sang Paraklitus, yang menuntun manusia kepada segala kebenaran), percaya bahwa hanya ada satu Allah, tetapi di dalam kerangka penatalaksanaan istimewa atau yang disebut οἰκονομία ini, yaitu Allah yang hanya satu ini memiliki pula seorang Putra, yakni Firman-Nya, yang keluar dari Diri-Nya sendiri, yang oleh-Nya segala sesuatu dijadikan, dan yang tanpa-Nya tidak ada sesuatu pun yang dijadikan. Dia ini kami percaya sudah diutus Bapa ke dalam Sang Perawan, dan sudah lahir dari padanya—menjadi Manusia sekaligus Allah, Anak Manusia sekaligus Anak Allah, dan sudah disapa dengan nama Yesus Kristus; kami percaya Dia sudah menderita sengsara, wafat, dan dimakamkan, sesuai dengan Kitab Suci, dan kemudian Dia dibangkitkan oleh Bapa dan diangkat kembali ke surga, untuk duduk di sisi kanan Bapa, dan bahwa Dia akan datang menghakimi orang yang hidup dan mati; yang juga mengutus dari surga dari Bapa, seturut janji-Nya sendiri, Roh Kudus, yakni Sang Paraklitus, pengudus iman orang-orang yang percaya akan Bapa, dan akan Putra, dan akan Roh Kudus. Bahwasanya kaidah iman ini sudah diturunkan kepada kami sedari permulaan injil, bahkan sebelum ada satu pun ahli bidat lawas, apatah lagi Prakseas, pembual kemarin sore itu, akan tampak nyata baik dari keterlambatan tarikh kemunculan yang menjadi ciri semua bidat, maupun dari perangai anyar mutlak Prakseas kita yang baru saja rampung direka cipta itu. Bertolak dari pendirian seperti inilah mulai sekarang kita harus mengiktikadkan suatu praduga yang sama kuatnya guna menghadapi bidat mana pun juga—yakni apa-apa yang muncul pertama itulah yang benar, sedangkan apa-apa yang lancung munculnya belakangan.[14]


Patripasianisme

Pengecam utama Sabelianisme adalah Tertulianus dan Hipolitus. Di dalam risalahnya, Adversus Praxeas, Bab I, Tertulianus mengemukakan bahwa "Dengan demikian Prakseas sudah dua kali lipat melayani iblis di Roma. Dia menyingkirkan nubuat sekaligus memasukkan bidat; dia menghalau Paraklitus sekaligus menyalibkan Bapa."[4] Dengan nada yang sama, Hipolitus mengemukakan di dalam risalahnya sebagai berikutː

Tampakkah olehmu, demikian ujarnya, betapa Kitab Suci mempermaklumkan satu Allah? Dan lantaran perkara ini terpampang dengan jelas, dan ayat-ayat ini bersaksi membenarkannya, maka wajiblah saya, demikian ujarnya, lantaran satu yang diketahui, untuk menjadikan yang Satu ini pihak yang menderita. Sebab Kristus adalah Allah, dan menderita demi kita, Ia jua Bapa itu, supaya Ia dapat menyelamatkan kita.... Lihatlah Saudara sekalian, betapa gegabah dan lancangnya ajaran yang mereka dakwahkan itu, manakala tanpa malu-malu mereka berkata, Bapa jua Kristus itu, Ia jua Putra itu, Ia jua yang lahir, Ia jua yang menderita, Ia jua yang membangkitkan diri-Nya sendiri, padahal bukan demikian adanya.[3]

Dari pernyataan-pernyataan semacam inilah muncul istilah ejekan "Patripasianisme" yang dilekatkan kepada bidat tersebut, dari kata Latin pater yang berarti "bapa" dan passus yang berarti "menderita", lantaran menyiratkan bahwa Bapa menderita di atas kayu salib.

Perlu diingat bahwa sumber-sumber pustaka yang masih dapat ditelaah sekarang ini demi memahami Sabelianisme hanyalah sumber-sumber pustaka peninggalan pihak-pihak yang menentangnya. Para sarjana dewasa ini tidak sependapat mengenai apa yang sebenarnya diajarkan Sabelius maupun Prakseas. Tidak sulit untuk berprasangka bahwa Tertulianus dan Hipolitus, setidaknya sesekali, bisa saja keliru menafsirkan pendapat lawan-lawan mereka.[15]

Pandangan Ortodoks Timur

Kristen Ortodoks Yunani mengajarkan bahwa hakikat Allah tidak dapat diperbandingkan dengan apa pun sebab Allah Bapa tidak berasal-usul, kekal, dan ananta. Oleh karena itu keliru jika wujud-wujud disifatkan "fisis" atau "metafisis", tetapi benar jika disifatkan "tercipta" atau "tak-tercipta." Allah Bapa adalah asal dan sumber Tritunggal, yang dari pada-Nya Putra diperanakkan dan Roh Kudus keluar, ketiga-tiganya Tak-tercipta.[16] Oleh sebab itu, kesadaran Allah tidak dapat diperoleh makhluk ciptaan baik semasa hidup di dunia ini maupun kelak di akhirat (lih. apofatisme). Melalui kerjasama dengan Roh Kudus (disebut teosis), umat manusia dapat menjadi baik (seperti Allah), bukan menjadi tak-tercipta, tetapi mengambil bagian di dalam kuasa ilahi-Nya (2 Petrus 1:4). Lewat jalan inilah umat manusia dapat dimaafkan memiliki Pengetahuan Tentang Yang Baik dan Yang Jahat yang ia peroleh di Taman Eden (lih. Kejatuhan manusia), dengan demikian hakikat tercipta manusia mengambil bagian di dalam hakikat tak-tercipta Allah melalui persemayaman kehadiran Putra Allah yang menjelma secara kekal dan Bapa-Nya (Filipi 3:21) melalui perantaraan Roh Kudus (Yohanes 17:22–24, Roma 8:11, Roma 8:16-17 16-17).

Penganut dewasa ini

Saat berlangsungnya Rapat Perkemahan Sedunia II di Arroyo Seco pada tahun 1913, pendeta Injili asal Kanada, R.E. McAlister, dalam suatu kebaktian pembaptisan, berkhotbah bahwa para rasul hanya membaptis dalam nama Yesus saja, bukan dalam Nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Malam itu juga, John G. Schaeppe, seorang imigran asal Jerman, mengaku menyaksikan penampakan diri Yesus, lantas membangunkan seisi perkemahan dengan teriakan lantang, bahwasanya nama Yesus harus dimuliakan. Mulai dari saat itu, Frank J. Ewart mulai mewajibkan orang-orang yang sudah pernah dibaptis dengan rumusan Tritunggal untuk dibaptis ulang dalam nama Yesus “saja.” Dukungan terhadap pendirian semacam ini mulai merebak, bersamaan dengan keyakinan akan satu Oknum di dalam Ke-Allah-an, yang bertindak dalam modus atau kedudukan yang berbeda-beda.[17]

Pada bulan Oktober 1916, Sidang Raya Sidang Jemaat Allah diselenggarakan di St. Louis, Missouri, untuk mengukuhkan keimanan mereka kepada ortodoksi Tritunggal. Kubu Keesaan harus menghadapi kubu mayoritas yang mewajibkan penerimaan rumusan baptis Tritunggal dan doktrin ortodoks Tritunggal kalau tidak mau dianggap sudah sukarela keluar dari denominasi Sidang Jemaat Allah. Pada akhirnya sekitar seperempat dari pendeta Sidang Jemaat Allah meutuskan mengundurkan diri.[18]

Pentakosta Keesaan mengajarkan bahwa Allah adalah satu oknum, dan Bapa (roh) manunggal dengan Yesus (daging) menjadi Putra Allah. Meskipun demikian, Pentakosta Keesaan sedikit tampil beda dengan menolak Modalisme Sekuensial, dan dengan sepenuhnya mengamini kelahiran insani Putra, yang tidak khadim sifatnya, yakni insan Yesus yang dilahirkan, wafat di salib, lalu bangkit, dan bukan ilah. Kepercayaan semacam ini secara langsung bertentangan dengan keprawujudan Putra selaku salah satu modus prawujud, yang secara umum tidak ditentang Sabelianisme.

Golongan Pentakosta Keesaan percaya bahwa Yesus adalah "Putra" hanya selama menjadi manusia di muka bumi, tetapi adalah "Bapa" sebelum menjadi manusia. Mereka menyebut Bapa sebagai "Roh" dan menyebut Putra sebagai "Daging", tetapi mereka percaya bahwa Yesus dan Bapa pada hakikatnya adalah satu Oknum, kendati berkiprah dalam beragam "perwujudan" atau "modus". Golongan Pentakosta Keesaan mendustakan doktrin Tritunggal, karena menganggapnya bersifat pagan dan tidak Alkitabiah, serta menganut doktrin Nama Yesus terkait pembaptisan. Mereka sering dijuluki golongan "Modalis" atau golongan "Yesus Saja". Pentakosta Keesaan dapat diperbandingkan dengan Sabelianisme, dan dapat pula disifatkan sebagai keimanan kepada salah satu ragam dari Sabelianisme, karena sama-sama Awatritunggal dan sama-sama mengimani Yesus sebagai "Allah Yang Mahaperkasa dalam Wujud Manusia", meskipun kedua-duanya tidak persis sama.

Tidak dapat dipastikan apakah Sabelius memang mengajarkan Modalisme seperti yang diajarkan dewasa ini dengan nama doktrin Keesaan, karena hanya segelintir fragmen karya tulisnya yang masih ada, dan oleh karena itu segala sesuatu yang diketahui tentang ajaran-ajarannya bersumber dari karya-karya tulis para penentangnya.[19]

Kutipan-kutipan yang memperlihatkan beberapa ciri khas Sabelianisme purba di bawah ini dapat dicermati untuk dibandingkan dengan doktrin-doktrin gerakan Keesaan pada zaman modern:

  • Siprianus mengemukakan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "...bagaimana caranya, apabila Allah Bapa tidak dikenal, bukan lagi, malah dihujat, dapatkah orang-orang di kalangan ahli bidat yang konon dibaptis dalam nama Kristus, diabsahkan sudah beroleh pengampunan dosa?[20]
  • Hipolitus (170–236) menulis tentang mereka sebagai berikutː "dan beberapa di antara mereka mengamini kaum bidat pengikut Noetos, dan bersikukuh bahwa Bapa jualah Sang Putra itu..."[21]
  • Paus Dionisius, Uskup Roma dari tahun 259 sampai 269, mengemukakan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "Sabelius...menghujat Allah dengan mengatakan bahwa Putra itu sendiri adalah Bapa, demikian pula sebaliknya."[22]
  • Tertulianus menegaskan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "ia mengamanatkan kepada mereka agar membaptis orang dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, bukan dalam nama Allah yang berpribadi tunggal. Dan memang bukan hanya sekali, melainkan tiga kali, kita dibenamkan ke dalam tiga pribadi, tiap-tiap kali nama mereka dilisankan.”[23]

Penentangan dewasa ini

Meskipun golongan Pentakosta Keesaan berusaha membedakan akidahnya dari Sabelianisme purba, teolog-teolog modern semisal James R. White dan Robert Morey tidak mendapati perbedaan yang cukup berarti di antara bidat purba Sabelianisme dan akidah mutakhir Pentakosta Keesaan. Penilaian mereka didasarkan atas penyangkalan golongan Pentakosta Keesaan akan Tritunggal, lantaran percaya bahwa tidak ada perbedaan di antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[24] Bagi mereka, baik Sabelianisme, Patripasianisme, Monarkianisme Modalistis, Fungsionalisme, Yesus Saja, Bapa Saja, maupun Pentakosta Keesaan berakar pada doktrin filsafat Platon yang mengatakan bahwa Allah adalah Monas (tunggal) yang tak terbagi dan mustahil dipilah-pilah menjadi beberapa oknum berlainan.[25]

Baca juga

  • iconPortal Kristen

Rujukan

  1. ^ a b c d e f g Hanson, Richard Patrick Crosland (1988). The Search for the Christian Doctrine of God: The Arian Controversy, 318-381. T. & T. Clark. ISBN 978-0-567-09485-8. 
  2. ^ A History of Christianity: Jilid I: Beginnings to 1500 oleh Kenneth S. Latourette, Edisi Terevisi hlmn.144-146, diterbitkan oleh HarperCollins, 1975: ISBN 0-06-064952-6, ISBN 978-0-06-064952-4 [1]
  3. ^ a b Hippolytus, of Rome. "Against the Heresy of Noetos". Christian Classics Ethereal Library. Diakses tanggal 29 May 2017. 
  4. ^ a b Tertullian, of Carthage. "Against Praxeas, Bab 1". Christian Classics Ethereal Library. Diakses tanggal 29 Mei 2017. 
  5. ^ Schaff, Phillip. "History of the Christian Church, Jilid II". Christian Classics Ethereal Library. Diakses tanggal 29 Mei 2017. 
  6. ^ Dionisius, Uskup Roma. "Melawan Kaum Sabelian". Early Christian Writings. Diakses tanggal 28 Mei 2017. 
  7. ^ VON MOSHEIM, JOHN LAURENCE (1854). HISTORICAL COMMENTARIES ON THE STATE OF CHRISTIANITY (dalam bahasa Inggris). S. Converse. 
  8. ^ "Johann Lorenz von Mosheim | German theologian | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris).  Teks "access-08 Desember 2021 " akan diabaikan (bantuan)
  9. ^ VON MOSHEIM, JOHN LAURENCE (1854). HISTORICAL COMMENTARIES ON THE STATE OF CHRISTIANITY (dalam bahasa Inggris). S. Converse. 
  10. ^ Select Treatises of St. Athanasius - In Controversy With the Arians - Terjemahan bebas oleh John Henry Cardinal Newmann - Longmans, Green, and Co., 1911, catatan kaki no. 124
  11. ^ G. T. Stokes, “Sabellianism,” penyuntingː William Smith dan Henry Wace, A Dictionary of Christian Biography, Literature, Sects and Doctrines (London: John Murray, 1877–1887), 567.
  12. ^ Hipolitus, dari Roma. "Bantahan Terhadap Segala Bidat, Parwa 9". EarlyChristianWritings. Diakses tanggal 29 Mei 2017. 
  13. ^ Hippolytus, of Rome. "Bantahan Terhadap Segala Bidat, Parwa 10". EarlyChristianWritings. Diakses tanggal 29 Mei 2017. 
  14. ^ Tertullian, of Carthage. "Melawan Prakseas, Bab 2". ChristianClassicsEtherealLibrary. Diakses tanggal 29 Mei 2017. 
  15. ^ "Monarchians, New Advent, Catholic Encyclopedia". 
  16. ^ Vladimir Lossky, The Mystical Theology of the Eastern Church, SVS Press, 1997, hlmn.50-59.(ISBN 0-913836-31-1) James Clarke & Co Ltd, 1991. (ISBN 0-227-67919-9)
  17. ^ "The Arroyo Seco Camp Meeting - 1913". Apostolic Archives International. The M. E. Golder Library and Research Center. Diakses tanggal 7 November 2020. 
  18. ^ Kerry D. McRoberts, “The Holy Trinity,” in Systematic Theology: Revised Edition, penyuntingː Stanley M. Horton (Springfield, MO: Logion Press, 2007), hlmn. 171–172.
  19. ^ Louis Berkhof, The History of Christian Doctrines (Grand Rapids, MI: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1949), 83.
  20. ^ Siprianus dari Kartago, “The Epistles of Cyprian,” dalam Fathers of the Third Century: Hippolytus, Cyprian, Novatian, Apendiks, penyuntingː Alexander Roberts, James Donaldson, dan A. Cleveland Coxe, penerjemahː Robert Ernest Wallis, jld. 5, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian Literature Company, 1886), hlm.383.
  21. ^ Hipolitus dari Roma, “Bantahan Segala Bidat,” dalam Fathers of the Third Century: Hippolytus, Cyprian, Novatian, Apendiks, penyuntingː Alexander Roberts, James Donaldson, dan A. Cleveland Coxe, penerjemahː John Henry MacMahon, jld. 5, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian Literature Company, 1886), hlmn. 123–124.
  22. ^ Dionisius dari Roma, “Melawan Golongan Sabelius,” dalam Fathers of the Third and Fourth Centuries: Lactantius, Venantius, Asterius, Victorinus, Dionysius, Apostolic Teaching and Constitutions, Homily, and Liturgies, penyuntingː Alexander Roberts, James Donaldson, dan A. Cleveland Coxe, jld. 7, The Ante-Nicene Fathers (Buffalo, NY: Christian Literature Company, 1886), hlm.365.
  23. ^ Samuel Macauley Jackson (penyunting), The New Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge: Embracing Biblical, Historical, Doctrinal, and Practical Theology and Biblical, Theological, and Ecclesiastical Biography from the Earliest Times to the Present Day (New York; London: Funk & Wagnalls, 1908–1914), hlm.16.
  24. ^ James R. White, The Forgotten Trinity (Minneapolis, MN: Bethany House Publishers, 1998), 153.
  25. ^ Robert A. Morey, The Trinity: Evidence and Issues (Iowa Falls, IA: World Pub., 1996), 502–507.

Pranala luar

  • Sabelianisme menurut Encyclopædia Britannica
  • l
  • b
  • s
Zaman Klasik
Abad Pertengahan
Awal Zaman ModernZaman Modern
  • Amerikanisme
  • Bala Maria
  • Feeneyisme
  • Kristen Positif
  • Modernisme
  • Reinkarnasionisme
  •  Portal Katolik